Rabu, 06 November 2013

Kalimat sederhana, dan aku menyerah untuk sebuah mimpi

Kau boleh tertawa. Itu pantas untukku. Haruskah aku menghujat atau membenci, karena dengan bodohnya aku yang mengunci rapat pintu itu dan mengusirnya pergi. Haruskah kukatakan, bodoh! Pada diriku sendiri yang telah lacang seakan itu hal kecil yang tak mungkin ku sesali.

Bagaimana bisa kata-kata sederhana itu menyakiti. Bagaimana bisa cerita singkat itu mengorek seluruh relung hati. Aku tak pernah menjadi se-hebat siapapun, hingga fikirku melayang untuk berbagai pihak yang mungkin mendukungku. Kurasa ku tak punya apapun untukmu datang dan tinggal. Lalu tiba-tiba kau mulai berlalu dan melupakan.

Aku tak berhak menangis, aku tak berhak marah, bahkan aku tak seharusnya iri. Kau boleh tersenyum menang, kau boleh tertawa puas, karena aku kalah dalam berbagai hal, bahkan aku tak pernah menang sejak saat pertama ini dimulai. Tapi bagaimana itu begitu menyakiti, dengan santai kuhadapi dengan candaan layaknya tak akan ada yang terjadi. Tapi berpura-pura juga tak semudah itu, karena aku marah pada diriku sendiri.

Kenapa aku tak memiliki apapun untuk jadi hal baik didepan kalian? Hingga satu diantaranya akan tinggal atau menetap. Kenapa aku bahkan tak bisa merasakan bahagianya kenangan manis itu? Bahkan tak pernah kuketahui secara nyata karena tak pernah terjadi dalam cerita singkatku ini. m aku tidak bisa menarik satu dan membiarkan nya bermain-main didalam hati, hingga sepi dan hampa tak selalu jadi masalah lagi dan lagi.

Kalian berdongeng tentang sebuah masa-masa indah dengan penuh kenangan manis dan rasa cinta. Aku mendengarkan dan hanya bisa tersenyum merasakan betapa bahagianya jika dapat masuk dan merasakan langsung yang terjadi atas itu. Andaikan, bila saja, mungkin jika.. tapi dalam hati aku tertawa kecil mengejek diri sendiri, hatiku menciut dan semua lenyap. Aku tau aku akan sendiri untuk waku yang lebih lama lagi.

Aku menyerah dengan satu kalimat yang membuat semua harapan-harapan itu menjadi pasti dan tidak akan terjadi. Aku berhenti ketika satu kalimat meyakinkanku bahwa itu yang akan kudapati. Aku tak lagi berasumsi untuk sebuah hal yang sepertinya sudah pasti. Aku menutup segala hal dan memegang teguh harga diri untuk perjuangan terakhir yang aku bisa miliki.

Aku tidak terluka, tidak sedalam itu. Hanya nafasku seakan tertinggal dan terhenti, aku memaksa berulang kali, namun ini tak membaik, tak pernah membaik. Aku marah pada diriku sendiri, ingin aku membuat sosok yang tampak pada cermin ini pergi dan tak lagi tinggal didunia ini. Kau boleh tetawa, aku pecundang yang sebenarnya. Dongeng itu tak pernah ada, aku yang mengarangnya dan mengerti bahwa itu semua hanya sebuah imajinasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar