Kamis, 13 Maret 2014

Even devil may cry



       Pagi ini saat hujan rintik turun perlahan dan radio mendendangkan lagu-lagu country zaman dahulu, tiba-tiba membawaku kembali mengingat sahabat lamaku, seseorang yang membenci hujan yang katanya terlihat seperti air mata..
            Dia seorang temanku yang lama-kelamaan semakin akrab dan menjadi teman, ketika hujan tiba, dia akan menyanyikan banyak lagu-lagu country atau beberapa lagu yang membuat hujan tak lagi terasa dingin dan sendu. Katanya hujan seperti seseorang yang menangis, dan dia benci menangis, menangis membuatmu terlihat tidak bahagia.
            Kami menjalani kehidupan perkuliahan seperti biasa, dia pelengkap segala aktifitas. Joe, nama kecilnya dan bagaimana kami memangilnya ketika dia dan senyum sumringahnya selalu menemani hari-hari kami. Joe si pemarah yang selalu mementingkan orang lain terlebih dahulu, joe yang tak pernah membuat orang di sekelilingnya bosan atau jenuh, joe yang penuh dengan kejutan, joe yang hangat dan penuh dengan kasih sayang, joe yang penuh dengan cinta.
            Laki-laki yang sekalipun tak pernah menyakiti hari para perempuan, siapapun, bagaimanapun, dan betapapun perempuan itu akan sangat ia hormati. Dia marah karena hal-hal kecil bahkan ketika kami pulang larut malam hanya untuk berkeliling kota, marah karena aku tak memakai pakaian sedikit lebih tebal malam hari, takut nirina terluka dan sakit ketika nirina malas makan, menasehati sam terus-menerus atas sifat playboy nya dan selalu berteriak menyuruh ray berhenti merokok karena tidak baik. Joe.. nama lelaki yang selalu mengurutkan kami pada nomor pertama untuk setiap apapun, dan joe yang tidak pernah sekalipun kulihat menangis.
            Sore itu kami ber-lima berkumpul untuk rencana sederhana mengenai ulang tahun sam. Persiapan sangat matang, restaurant, dekorasi, dan hadiah serta teman-teman sam sudah berkumpul tapi joe belum datang. Pesta tidak akan dimulai tanpa joe, kami tau bahkan ketika sam terus diam dan menunggu. Sedikit demi sedikit teman-teman dan keluarga sam sudah berkumpul, dan joe tak pernah ingkat janji
            Lebih dari dua jam semua orang menunggu, dan sam tak juga berpaling dari posisi semulanya, beberapa tamu sudah pulang terlebih dahulu hingga pada ujung acara ketika semua selesai makan dan ber-nyanyi, sam tak juga meniup lilin ke dua puluh satunya. Acara selesai, joe tidak dataang, tanpa alasan, tanpa sebuah kabar, tanpa kata-kata.
            Seminggu berlalu dari hari itu. Joe tak juga diketahui keberadaanya, yang kami tau ia hanya keluar negri untuk acara keluarga dan walau telah di hubungi beribu kali, joe tidak pernah menjawab ataupun memberi kabar.
            Pada hari kamis minggu kedua, joe datang. Badanya sedikit lebih kurus, mukanya pucat terlihat tidak sehat, tapi joe selalu sama seperti kemarin. Dengan caranya,dengan gayanya dia berbicara seperti biasa, bercerita tantang new york, Sam tidak marah ataupun bertanya alasan sahabatnya tidak datang saat itu. Selalu ada alasan yang pasti masuk akal bagi joe, kata sam ketika kami bertanya. Dan seakan tidak ada yang terjadi, kami tetap kami. Tetawa, bercanda, bahagia, bersama.
            Bulan maret tahun itu, kami berkumpul di rumah sakit St.Charitas joe terkapar lemah di ruang rawat intensif khusus untuk penderita kanker. Hari kedua saat joe bangun dari tidurnya, tak ada pertanyaan pasti yang kami ucapkan, ataupun pernyataan yang joe berikan. Kami takut, taku bertanya dan takut menyatakan. Dan hari-hari telalui seperti kemarin. Sama. Hanya sekarang joe lebih sering di rumah sakit.
            Pertengahan bulan april, joe duduk di teras ruang inap. Aku hanya diam sembari mengupas buah, nirina merajut sebuah syall, sam dan ray sibuk bercerita hal-hal konyol pada joe. Tiba-tiba joe diam dan kami tau ada yang berbeda. Dia menarik nafas panjang dan bersiap untuk sebuah cerita. Dan apapun itu, kami dalam hati mengerti hal ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan lagi.
            Joe bercerita tentang kecelakaan saat masih kecil, tentang gumpalan darah yang mengendap bertahun tahun lamanya di otak kecil, tentang rasa sakit yang lama dan semakin lama tak tertahan, tentang pengobatan yang terlambat, tentang kehidupan yang katanya hanya tiga sampai empat bulan lagi saja.
            Aku yang selalu dimaki joe karena cengeng hanya diam saja membatu, nirina yang selalu tegar mulai menangis perih, ray berlari keluar entah kemana, sam memandang langit biru dengan menahan airmata. Hari itu, hari terburuk dalam kehidupanku, kehidupan kami. Hari pertama yang kami lalui dengan penyesalan. Hari pertama kami menyadari, bahwa kehidupan bukan melulu tentang senyuman dan kebahagiaan, bahwa kami tidak bisa selamanya menjadi berasama.
            Akhir maret, kami masih setia menemani joe. Setiap hari menjadi kebiasaan bahwa kami akan berada dirumah sakit untuk berkumpul atau sekedar bercerita. Joe tak lagi seperti dulu, dia tak lagi selalu bersemangat dan bernyanyi dengan keren, atau bermain basket hingga seluruh tubuhnya penuh dengan keringat. Sekarang seluruh harinya ia habiskan untuk meminum obat dan menjalani terapi. Joe tak lagi terlihat bahagia, walaupun dia selalu tersenyum ketika kutanyakan sesuatu. Namun, tak pernah satu kalipun kulihat joe menangis, tidak pernah.
            Bulan ketiga joe dirumah sakit, dia tak lagi mau disuntik, minum obat, dan menjalani terapi. Dia hanya duduk dan banyak bercerita tentang masalalu, tertawa bersaama ray dan sam, bermain game bersama nirina, dan mengodaku seperti biasa. Katanya dia akan selalu khawatir padaku. Kami tak bicara apapun ketika ia meminta pualang dari rumah sakit pada dokter, memohon hingga lemas pada bundanya untuk pulang, dan membujuk ayahnya untuk membiarkan kami semua menginap lebih lama dirumahnya. Kami dalam hati mengerti kenapa.
            Pertengahan bulan ketiga, joe kembali. Wajahnya lebih bahagia dari hari kemarin, pulang kerumah mungkin cara terbaik, dia lebih kelihatan sehat dan bersemangat, lebih ceria. Tiga laki-laki muda itu tak henti bermain basket setiap hari, joe dan ray selalu memetik gitar dan bernyanyi setiap sore, sam akan merekam lalu aku dan nirina selalu menjadi fans setia. Kami benar-benar bahagia.
             Hari minggu awal bulan mei, joe merangkulku dan nirina. Nirina menangis keluar dari kamar. Ray dan sam sedang membeli makanan kesukaan joe, martabak jagung. Joe memelukku dan menangis. Katanya dia takut akan menjadi sendiri nanti, katanya dia mencintai kami melebihi saudara kandungnya sendiri walaupun ia tidak punya saudara kandung, katanya dia ingin tinggal lebih lama di dunia ini, katanya “aku tak lagi menjadi laki-laki kuat yang tak pernah menangis”. Kukatakan dengan nada rendah, menangis bukan hal yang memalukan kami akan selalu disini bahkan ketika joe tak lagi jadi laki-laki kuat. Malam itu, kami semua melihat joe menangis tersedu-sedu, hatinya perih. Ray dan sam yang katanya lelaki tulen yang tak mengenal kasih sayang sesama jenis memeluk joe, dengan lebih dan lebih erat dari hari-hari kemarin. Kami tak mau kehilangan joe, tidak.
            Akhir bulan mei, joe dilarikan ke rumah sakit lagi. Kali ini dia tak lagi pingsan dan hanya ditusuk beberapa jarum. Joe koma. Kata dokter manusia memiliki batas untuk menahan rasa sakit, dan ketika sakit itu tak bisa tertahan, maka yang seperti joe alami sekarang, koma. Kami tidak pernah absen di sisi joe, nirina tak melepaskan gengaman tangan nya kecuali untuk mandi dan makan, sam merekam setiap hari dengan handycam dengan candaan dengan kekonyolan, ray memtik gitarnya setiap malam datang, mengejek joe dengan nyanyian dangdut, aku menonton mereka dan hanya berdoa. Kami tau bahwa joe akan segera pergi, walau kami tak mengakui apapun tapi kami bersiap-siap untuk hari itu.
            Tanggal 1 juni hari selasa. Joe bangun, di gengamnya tangan bunda dan ayahnya, dikatakanya bahwa mereka ia cintai hingga kiamat dan seluruh hari berakhir, ia meminta maaf untuk setiap airmata yang jatuh untuk orang tak beruntung sepertinya.
Dia memandangku dengan hangat. Aku tak akan menangis, aku tak akan menangis akan kubuktikan itu, setiap kali kukatakan pada hati kecilku ketika kulihat sorot mata joe padaku. Tapi joe tau, aku membohongi dia dengan senyum palsu dan ketegaran palsu, berpura-pura kuat dan menasehati bahwa menangis bukanlah hal yang memalukan, dan yang kulakukan adalah menahan tangisku melihatnya. Dia menarik tangan kami ber-empat mengengam jari kami dengan perlahan, ku gengam tangan joe dengan erat.
Mata joe mulai berkaca, tangannya mulai lemah, dan dia sudah sangat lelah dan mengantuk. Kami tau bahwa hari ini adalah akhir. Aku hanya memandang joe dalam diam, dan ketika semua mulai menangis kecuali aku, joe berbisik ke telinggaku. “menangis bukan hal yang memalukan, sayang. Aku pamit pergi duluan ya..”. dan gengaman tangan joe telah kehilangan tenaganya. Joe tertidur untuk selamanya. Kami semua menangis tak tertahan, kali ini, ini adalah hari yang benar-benar buruk.
Hari itu adalah akhir, benar benar menjadi akhir. Kami berjanji untuk beberapa hal, sisa dari kami. Bahwa beberapa tahun kedepan kami akan datang ke sini, pemakaman joe untuk menyapanya. Hidup kami berubah sejak hari itu. Tidak ada lagi kami, nirina mendalami kuliah psikologinya, sam pergi ke paris untuk mendalami pemotretan internasional, ray mendalami dunia akting katanya dia mau jadi aktor, dan aku sibuk dengan duniaku sendiri, aku merancang busana dan mendalami cara menjadi seorang penulis. Kata joe, dia suka saat melihatku menggambar busana, dan aku sangat mencintai menulis.
Ini adalah tahun kedua semejak joe pergi. Nirina masih di Jakarta, aku selalu berpindah tapi saat ini aku menetap di Singapore, sam masih di Paris, dan sam, katanya dia menetap di Bali.
14 februari 2014, kami mendapatkan kado valentine terindah. Pengirimnya Jonathan orconel erie “joe”. Sebuah video cukup panjang yang berisi kumpulan foto-foto dan video kami setiap kali liburan atau merayakan moment bersama. Dan.. sebuah rekaman pesan singkat. Itu joe, dia duduk di kursi dan bercerita ngawur mengenai new york yang sok bersih, lalu dia meminta maaf pada sam karena tidak bisa datang saat ulang tahun sam, joe membawa kue kecil dan meniup lilin duapuluh satu sam. Joe minta maaf karena dia harus diperiksa sana sini untuk memastikan gumpalan darah di otaknya.
 “sam, terimaksih sudah menjadi kakakku, abang sam yang selalu melindungiku dan mengalah padaku. Bolehkah aku titip nirina dan ica? Mereka perempuan yang terlalu polos buat dilepasin ke bumi. Jangan maninin cewe lagi, jaga aja tuh si nirina ama ica, cari satu aja buat nemenin kamu terus sam. Janji ya samantha yang terakhir?” pesan joe yang pertama dalam video, aku tersenyum dan merasa perih. Sam tersenyum dan bergumam dalam hati “oke joe!”.
“niri.. abang joe ga suka kamu terlalu bebas, jangan galak-galak ya.. siapa yang mau sama kamu entar, eh! Makan yang banyak biar gedean dikit, itu badan udah kayak papan cucian.. haha, abang sayang kamu. Jangan lupain abang yaa, berenti galak inget! Coba buka hati kamu biar ada yang masuk dong, nanti abang senyum deh dari atas..” nirina menangis haru.
“ehh cowok urakan! Udah ya ngerokoknya, entar mati cepet ga bisa nikah deh lo! Hahaha. Jagain itu adek-adek lo, jagain ica sama niri. Ray sepatu abang yang kemaren ray mau boleh ray ambil deh, abang ga pakek lagi. Jangan lupa sholat ya, jadi fotografer yang keren, jangan setengah-setengah. Kita ketemu lagi entar”. ray tersenyum seraya membuka hadiah tambahan, sepatu nike merah yang katanya limited edition.
“dekk.. pasti lagi nungguin gilirannya yaa?” untukku, aku tersenyum hingga airmataku tak berhenti menetes.
“jangan nangis mulu, abang ga suka cewe cengeng. Benci banget kalo kamu mulai mewek, udahan yaa.. abang paling takut sama kamu. Takut kamu sendirian, takut kamu nangis lagi, takut kamu bingung ga tau mau ngapain, penyakit kamu banget”  ray, sam dan nirina tertawa geli.
“biar abang ga khawatir lagi, kamu harus jadi cewe yang kuat ya, yang super, yang serba bisa, yakin sama diri kamu sendiri, abang selalu dukung kamu, jangan takut. Abang sayaaaang banget sama kamu jadi berenti nangis terus senyum! Abang tunggu kamu kalo urusan kamu di dunia udah ya sayangg”. Aku menghapus airmataku, seutuhnya dari hatiku yang terdalam aku tak lagi ingin menangis.
“buat kalian semua yang mungkin sekarang udah mencar entah keman-mana. Tengokin gue donk!! Gila kali gue bosen di atas sono! Hahah, becanda. Idup yang baek ya semua, dreams your dream, gue sayang kalian semua!!”.
Kami semua tersenyum dan seperti mendapatkan cahaya baru, semangat untuk mengejar sesuatu lagi seperti mimpi. Joe, dia selalu jadi bagian dari kami. Kami yang hari ini, tidak akan ada tanpa dia.
Penghujung Febuari kami berkumpul dirumah joe. Bunda dan ayahnya girang hingga tak henti mengengam tangan kami. Masih bisa kulihat joe bermain basket di lapangan sebelah kanan rumahnya. Masih kurasakan senyuman selamat datang joe yang hangat. Kurasa aku juga masih mendengar suara cekikikan kami mengengar guyonan ray diiringi petikan gitar joe. Semua masih tampak sama. Hanya saja dia tak lagi disni bersama kami.
Saat aku mulai berkaca-kaca memandang foto kami bersama yang di pajang di kamar joe, hatiku ngilu dan saat ku liat senyum joe lewat fotonya airmata itu mulai membasahi pipiku.
Sam merangkulku dari belakang “udah, jangan pakek nangis. Dia gak suka”. Aku tersenyum seraya menghapus airmataku.
Semua berkumpul di ruang keluarga, bunda dan ayah joe bercerita banyak hal-hal lucu yang joe lakukan ketika ia masih kecil. Kami tertawa terbahak karena itu. Tidak ada akhir dari kisah kami, karena kami akan terus hidup hingga pulang pada pencipta dan bertemu joe. 

Senin, 10 Maret 2014

Diam dalam kesunyian


Kami bertengkar pagi ini, karena hal sederhana, dan aku merasa sakit atas hal itu. Sesuatu yang hingga sekarang tidak tau harus kubiarkan menganga atau menutupnya dengan erat..

Aku tak lagi memandangmu walau aku memang tak pernah benar-benar memandangmu. Bagaimana bisa kau begitu membunuh? Segala kelakuanmu, segalanya. Jika membenci membuat hatiku luka dan perih, maka aku akan diam dan pura-pura tidak tau.

Bertahun lamanya, segalanya hanya sandiwara. Hanya omong kosong, dan aku merasa dibohongi atas semua itu. “Iya”, kamu mengabulkan segalanya. “Iya” kamu lakukan segalanya. “iya” yang selalu kau katakan ketika kami meminta. Dan sedalam itu juga luka yang ber iringan daripadanya.

Haruskah menjadi seperti sedia kala? Kurasa ku tak sanggup. Aku akan menjadi manusia paling berdosa karenanya, dan aku benar-benar takut. Bisakah Engkau mengerti? Teganya.. yang semua orang katakan putih, yang selalu terlihat rapih, yang tak pernah memiliki noda.

Aku tak mengerti apa yang harus kutemukan dan kucari, yang menjadi biarlah atau berlalu bagaikan angin yang lewat dan berhembus sejenak, yang akan menjadi kata “tidak masalah” atau “kumaafkan” dan hati benar berkata begitu, yang harus diraih menjadi sebuah mimpi dan menjadi bahagia, yang harus berhenti dan menjadi perjalanan yang selamanya.

Aku tak berani lagi berdiri dihadapanmu dan memandangmu sebagai orang yang biasanya. Dengan sendirinya, hatiku berkata dan bertingkah “kau tidak lagi sama, tidak akan pernah lagi sama” hingga aku hanya diam dan tak peduli. Lebih baik dan akan mengobati luka hatiku. Iya aku si egois besar.

Maaf.. karena memalingkan wajah adalah cara terakhirku untuk tidak lagi menangis, terluka, dan merasa sakit. Maaf.. karena pura-pura tidak tau adalah jalan ter-ampuh ku untuk membuat semuanya seakan selalu baik-baik saja. Maaf.. karena dengan menutup hatiku akan membuat segala sesuatunya seakan termaafkan.

Kamu memang memberikan segalanya, dan karena itu kamu selalu menjadi yang pertama dihatiku. Tapi dulu, ketika bahkan segalanya hanya palsu. Ketika aku dengan selalu bangganya memamerkan setiap ceritamu pada semuanya. Ketika aku bersikap seakan segalanya sempurna, dan mereka berhak iri padaku. Ketika aku membuat semua selayaknya indah.

Aku tak berhati baja, katakan saja begitu. Meski kukatakan beribu maaf dan sakit yang paling perih tak membuatmu percaya, biarlah aku menjadi manusia yang berdosa karena memalingkan wajah dan hanya diam tak bersuara.