Pagi ini saat hujan rintik
turun perlahan dan radio mendendangkan lagu-lagu country zaman dahulu, tiba-tiba membawaku kembali mengingat sahabat
lamaku, seseorang yang membenci hujan yang
katanya terlihat seperti air mata..
Dia
seorang temanku yang lama-kelamaan semakin akrab dan menjadi teman, ketika
hujan tiba, dia akan menyanyikan banyak lagu-lagu country atau beberapa lagu yang membuat hujan tak lagi terasa
dingin dan sendu. Katanya hujan seperti seseorang yang menangis, dan dia benci
menangis, menangis membuatmu terlihat tidak bahagia.
Kami menjalani kehidupan
perkuliahan seperti biasa, dia pelengkap segala aktifitas. Joe, nama kecilnya
dan bagaimana kami memangilnya ketika dia dan senyum sumringahnya selalu
menemani hari-hari kami. Joe si pemarah yang selalu mementingkan orang lain
terlebih dahulu, joe yang tak pernah membuat orang di sekelilingnya bosan atau
jenuh, joe yang penuh dengan kejutan, joe yang hangat dan penuh dengan kasih
sayang, joe yang penuh dengan cinta.
Laki-laki yang sekalipun tak
pernah menyakiti hari para perempuan, siapapun, bagaimanapun, dan betapapun
perempuan itu akan sangat ia hormati. Dia marah karena hal-hal kecil bahkan
ketika kami pulang larut malam hanya untuk berkeliling kota, marah karena aku
tak memakai pakaian sedikit lebih tebal malam hari, takut nirina terluka dan
sakit ketika nirina malas makan, menasehati sam terus-menerus atas sifat playboy nya dan selalu berteriak
menyuruh ray berhenti merokok karena tidak baik. Joe.. nama lelaki yang selalu
mengurutkan kami pada nomor pertama untuk setiap apapun, dan joe yang tidak
pernah sekalipun kulihat menangis.
Sore itu kami ber-lima
berkumpul untuk rencana sederhana mengenai ulang tahun sam. Persiapan sangat
matang, restaurant, dekorasi, dan hadiah serta teman-teman sam sudah berkumpul
tapi joe belum datang. Pesta tidak akan dimulai tanpa joe, kami tau bahkan
ketika sam terus diam dan menunggu. Sedikit demi sedikit teman-teman dan
keluarga sam sudah berkumpul, dan joe tak pernah ingkat janji
Lebih dari dua jam semua
orang menunggu, dan sam tak juga berpaling dari posisi semulanya, beberapa tamu
sudah pulang terlebih dahulu hingga pada ujung acara ketika semua selesai makan
dan ber-nyanyi, sam tak juga meniup lilin ke dua puluh satunya. Acara selesai, joe tidak dataang, tanpa alasan,
tanpa sebuah kabar, tanpa kata-kata.
Seminggu berlalu dari hari
itu. Joe tak juga diketahui keberadaanya, yang kami tau ia hanya keluar negri
untuk acara keluarga dan walau telah di hubungi beribu kali, joe tidak pernah
menjawab ataupun memberi kabar.
Pada hari kamis minggu
kedua, joe datang. Badanya sedikit lebih kurus, mukanya pucat terlihat tidak
sehat, tapi joe selalu sama seperti kemarin. Dengan caranya,dengan gayanya dia
berbicara seperti biasa, bercerita tantang new
york, Sam tidak marah ataupun bertanya alasan sahabatnya tidak datang saat
itu. Selalu ada alasan yang pasti masuk akal bagi joe, kata sam ketika kami
bertanya. Dan seakan tidak ada yang terjadi, kami tetap kami. Tetawa, bercanda,
bahagia, bersama.
Bulan maret tahun itu,
kami berkumpul di rumah sakit St.Charitas
joe terkapar lemah di ruang rawat intensif khusus untuk penderita kanker. Hari kedua saat joe bangun dari
tidurnya, tak ada pertanyaan pasti yang kami ucapkan, ataupun pernyataan yang
joe berikan. Kami takut, taku bertanya dan takut menyatakan. Dan hari-hari
telalui seperti kemarin. Sama. Hanya sekarang joe lebih sering di rumah sakit.
Pertengahan bulan april,
joe duduk di teras ruang inap. Aku hanya diam sembari mengupas buah, nirina
merajut sebuah syall, sam dan ray
sibuk bercerita hal-hal konyol pada joe. Tiba-tiba joe diam dan kami tau ada
yang berbeda. Dia menarik nafas panjang dan bersiap untuk sebuah cerita. Dan
apapun itu, kami dalam hati mengerti hal ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan
lagi.
Joe bercerita tentang
kecelakaan saat masih kecil, tentang gumpalan darah yang mengendap bertahun
tahun lamanya di otak kecil, tentang rasa sakit yang lama dan semakin lama tak
tertahan, tentang pengobatan yang terlambat, tentang kehidupan yang katanya
hanya tiga sampai empat bulan lagi saja.
Aku yang selalu dimaki joe
karena cengeng hanya diam saja membatu, nirina yang selalu tegar mulai menangis
perih, ray berlari keluar entah kemana, sam memandang langit biru dengan
menahan airmata. Hari itu, hari terburuk dalam kehidupanku, kehidupan kami.
Hari pertama yang kami lalui dengan penyesalan. Hari pertama kami menyadari,
bahwa kehidupan bukan melulu tentang senyuman dan kebahagiaan, bahwa kami tidak
bisa selamanya menjadi berasama.
Akhir maret, kami masih
setia menemani joe. Setiap hari menjadi kebiasaan bahwa kami akan berada
dirumah sakit untuk berkumpul atau sekedar bercerita. Joe tak lagi seperti
dulu, dia tak lagi selalu bersemangat dan bernyanyi dengan keren, atau bermain
basket hingga seluruh tubuhnya penuh dengan keringat. Sekarang seluruh harinya
ia habiskan untuk meminum obat dan menjalani terapi. Joe tak lagi terlihat
bahagia, walaupun dia selalu tersenyum ketika kutanyakan sesuatu. Namun, tak
pernah satu kalipun kulihat joe menangis, tidak pernah.
Bulan ketiga joe dirumah
sakit, dia tak lagi mau disuntik, minum obat, dan menjalani terapi. Dia hanya
duduk dan banyak bercerita tentang masalalu, tertawa bersaama ray dan sam,
bermain game bersama nirina, dan mengodaku seperti biasa. Katanya dia akan selalu
khawatir padaku. Kami tak bicara apapun ketika ia meminta pualang dari rumah
sakit pada dokter, memohon hingga lemas pada bundanya untuk pulang, dan
membujuk ayahnya untuk membiarkan kami semua menginap lebih lama dirumahnya.
Kami dalam hati mengerti kenapa.
Pertengahan bulan ketiga,
joe kembali. Wajahnya lebih bahagia dari hari kemarin, pulang kerumah mungkin
cara terbaik, dia lebih kelihatan sehat dan bersemangat, lebih ceria. Tiga
laki-laki muda itu tak henti bermain basket setiap hari, joe dan ray selalu
memetik gitar dan bernyanyi setiap sore, sam akan merekam lalu aku dan nirina
selalu menjadi fans setia. Kami benar-benar bahagia.
Hari minggu awal bulan mei, joe merangkulku
dan nirina. Nirina menangis keluar dari kamar. Ray dan sam sedang membeli
makanan kesukaan joe, martabak jagung. Joe memelukku dan menangis. Katanya dia takut akan menjadi sendiri nanti, katanya dia
mencintai kami melebihi saudara kandungnya sendiri walaupun ia tidak punya
saudara kandung, katanya dia ingin tinggal lebih lama di dunia ini, katanya
“aku tak lagi menjadi laki-laki kuat yang tak pernah menangis”. Kukatakan
dengan nada rendah, menangis bukan hal
yang memalukan kami akan selalu disini bahkan ketika joe tak lagi jadi
laki-laki kuat. Malam itu, kami semua melihat joe menangis tersedu-sedu,
hatinya perih. Ray dan sam yang katanya lelaki tulen yang tak mengenal kasih
sayang sesama jenis memeluk joe, dengan lebih dan lebih erat dari hari-hari
kemarin. Kami tak mau kehilangan joe, tidak.
Akhir bulan mei, joe
dilarikan ke rumah sakit lagi. Kali ini dia tak lagi pingsan dan hanya ditusuk
beberapa jarum. Joe koma. Kata dokter manusia memiliki batas untuk menahan rasa
sakit, dan ketika sakit itu tak bisa tertahan, maka yang seperti joe alami
sekarang, koma. Kami tidak pernah absen di sisi joe, nirina tak melepaskan
gengaman tangan nya kecuali untuk mandi dan makan, sam merekam setiap hari
dengan handycam dengan candaan dengan
kekonyolan, ray memtik gitarnya setiap malam datang, mengejek joe dengan
nyanyian dangdut, aku menonton mereka dan hanya berdoa. Kami tau bahwa joe akan
segera pergi, walau kami tak mengakui apapun tapi kami bersiap-siap untuk hari
itu.
Tanggal 1 juni hari
selasa. Joe bangun, di gengamnya tangan bunda dan ayahnya, dikatakanya bahwa
mereka ia cintai hingga kiamat dan seluruh hari berakhir, ia meminta maaf untuk
setiap airmata yang jatuh untuk orang tak beruntung sepertinya.
Dia memandangku dengan hangat. Aku tak akan
menangis, aku tak akan menangis akan kubuktikan itu, setiap kali kukatakan pada
hati kecilku ketika kulihat sorot mata joe padaku. Tapi joe tau, aku membohongi
dia dengan senyum palsu dan ketegaran palsu, berpura-pura kuat dan menasehati
bahwa menangis bukanlah hal yang memalukan, dan yang kulakukan adalah menahan
tangisku melihatnya. Dia menarik tangan kami ber-empat mengengam jari kami
dengan perlahan, ku gengam tangan joe dengan erat.
Mata joe mulai berkaca, tangannya mulai lemah, dan
dia sudah sangat lelah dan mengantuk. Kami tau bahwa hari ini adalah akhir. Aku
hanya memandang joe dalam diam, dan ketika semua mulai menangis kecuali aku,
joe berbisik ke telinggaku. “menangis
bukan hal yang memalukan, sayang. Aku pamit pergi duluan ya..”. dan
gengaman tangan joe telah kehilangan tenaganya. Joe tertidur untuk selamanya.
Kami semua menangis tak tertahan, kali ini, ini adalah hari yang benar-benar
buruk.
Hari itu adalah akhir, benar benar menjadi akhir.
Kami berjanji untuk beberapa hal, sisa dari kami. Bahwa beberapa tahun kedepan
kami akan datang ke sini, pemakaman joe untuk menyapanya. Hidup kami berubah
sejak hari itu. Tidak ada lagi kami, nirina mendalami kuliah psikologinya, sam
pergi ke paris untuk mendalami pemotretan internasional, ray mendalami dunia
akting katanya dia mau jadi aktor, dan aku sibuk dengan duniaku sendiri, aku
merancang busana dan mendalami cara menjadi seorang penulis. Kata joe, dia suka
saat melihatku menggambar busana, dan aku sangat mencintai menulis.
Ini adalah tahun kedua semejak joe pergi. Nirina
masih di Jakarta, aku selalu berpindah tapi saat ini aku menetap di Singapore,
sam masih di Paris, dan sam, katanya dia menetap di Bali.
14 februari 2014, kami mendapatkan kado valentine
terindah. Pengirimnya Jonathan orconel erie “joe”. Sebuah video cukup panjang
yang berisi kumpulan foto-foto dan video kami setiap kali liburan atau
merayakan moment bersama. Dan.. sebuah rekaman pesan singkat. Itu joe, dia
duduk di kursi dan bercerita ngawur mengenai new york yang sok bersih, lalu dia meminta maaf pada sam karena
tidak bisa datang saat ulang tahun sam, joe membawa kue kecil dan meniup lilin duapuluh satu sam. Joe minta maaf karena
dia harus diperiksa sana sini untuk memastikan gumpalan darah di otaknya.
“sam,
terimaksih sudah menjadi kakakku, abang sam yang selalu melindungiku dan
mengalah padaku. Bolehkah aku titip nirina dan ica? Mereka perempuan yang
terlalu polos buat dilepasin ke bumi. Jangan maninin cewe lagi, jaga aja tuh si
nirina ama ica, cari satu aja buat nemenin kamu terus sam. Janji ya samantha
yang terakhir?” pesan joe yang pertama dalam video, aku tersenyum dan merasa
perih. Sam tersenyum dan bergumam dalam hati “oke joe!”.
“niri.. abang joe ga suka kamu terlalu bebas,
jangan galak-galak ya.. siapa yang mau sama kamu entar, eh! Makan yang banyak
biar gedean dikit, itu badan udah kayak papan cucian.. haha, abang sayang kamu.
Jangan lupain abang yaa, berenti galak inget! Coba buka hati kamu biar ada yang
masuk dong, nanti abang senyum deh dari atas..” nirina menangis haru.
“ehh cowok urakan! Udah ya ngerokoknya, entar mati
cepet ga bisa nikah deh lo! Hahaha. Jagain itu adek-adek lo, jagain ica sama
niri. Ray sepatu abang yang kemaren ray mau boleh ray ambil deh, abang ga pakek
lagi. Jangan lupa sholat ya, jadi fotografer yang keren, jangan
setengah-setengah. Kita ketemu lagi entar”. ray tersenyum seraya membuka hadiah
tambahan, sepatu nike merah yang
katanya limited edition.
“dekk.. pasti lagi nungguin gilirannya yaa?”
untukku, aku tersenyum hingga airmataku tak berhenti menetes.
“jangan nangis mulu, abang ga suka cewe cengeng.
Benci banget kalo kamu mulai mewek, udahan yaa.. abang paling takut sama kamu.
Takut kamu sendirian, takut kamu nangis lagi, takut kamu bingung ga tau mau
ngapain, penyakit kamu banget” ray, sam
dan nirina tertawa geli.
“biar abang ga khawatir lagi, kamu harus jadi cewe
yang kuat ya, yang super, yang serba bisa, yakin sama diri kamu sendiri, abang
selalu dukung kamu, jangan takut. Abang sayaaaang banget sama kamu jadi berenti
nangis terus senyum! Abang tunggu kamu kalo urusan kamu di dunia udah ya
sayangg”. Aku menghapus airmataku, seutuhnya dari hatiku yang terdalam aku tak
lagi ingin menangis.
“buat kalian semua yang mungkin sekarang udah
mencar entah keman-mana. Tengokin gue donk!! Gila kali gue bosen di atas sono!
Hahah, becanda. Idup yang baek ya semua, dreams your dream, gue sayang kalian
semua!!”.
Kami semua tersenyum dan seperti mendapatkan
cahaya baru, semangat untuk mengejar sesuatu lagi seperti mimpi. Joe, dia
selalu jadi bagian dari kami. Kami yang hari ini, tidak akan ada tanpa dia.
Penghujung Febuari kami berkumpul dirumah joe.
Bunda dan ayahnya girang hingga tak henti mengengam tangan kami. Masih bisa
kulihat joe bermain basket di lapangan sebelah kanan rumahnya. Masih kurasakan
senyuman selamat datang joe yang hangat. Kurasa aku juga masih mendengar suara
cekikikan kami mengengar guyonan ray diiringi petikan gitar joe. Semua masih
tampak sama. Hanya saja dia tak lagi disni bersama kami.
Saat aku mulai berkaca-kaca memandang foto kami
bersama yang di pajang di kamar joe, hatiku ngilu dan saat ku liat senyum joe
lewat fotonya airmata itu mulai membasahi pipiku.
Sam merangkulku dari belakang “udah, jangan pakek
nangis. Dia gak suka”. Aku tersenyum seraya menghapus airmataku.
Semua berkumpul di ruang keluarga, bunda dan ayah
joe bercerita banyak hal-hal lucu yang joe lakukan ketika ia masih kecil. Kami
tertawa terbahak karena itu. Tidak ada akhir dari kisah kami, karena kami akan
terus hidup hingga pulang pada pencipta dan bertemu joe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar