Hingga jadi debu
Kebal
Terasa mati rasa
Berjuang dengan munafik lebih melelahkan ternyata
Hitam dan putih tidak terlihat jelas
Baik dan bejuang menjadi baik nyatanya dianggap juga jahat, salah ya..
Pun ketika egois dan peran antagonis memenuhi, di tunjuk puluhan ibu jari dengan tatapan menyalahkan,
Sungguh melelahkan si perasa
Sungguh berat hati si pengalah
Ia melukis
mencoba indah
mencoba dengan senyum senyum
dengan warna warna
Lalu lupa bahwa pencampuran warna butuh darah dan airmata
Butuh di korbankan
Harus di jadikan hitam dahulu
Harus di salahkan
Harus di remehkan
Harus di tatap dengan kebencian
Harus di jadikan korban dan si jahat
Harus di temukan peran si baik dan selalu di bela
Adil itu yang bagaimana?
Karena perasaan bisa merubah arah adil
Karena keadaan bisa membuat adil tidak 50 dan 50
Karena adil terkadang lebih melelahkan pada kenyataanya
Aku tersenyum
Menyambut campur aduk rasa yang dipaksa baik
Menyambut timbun-timbun keadaan yang di haruskan mengerti
Dengan ketegaran hati yg jauh lebih kokoh
Tersenyum,
Dengan lebih manis dari kemarin
Dengan lebih sabar dari “tadi”
Dengan mencoba lebih ikhlas dari terakhir kali
Namun perasaan mudah menipu kata tuan asing
Karena pada jeda tertentu manusia tidak punya pilihan selain menjadi jujur dengan lelahnya kata si nona perasa
Tuan asing dan nona perasa benar
Semua orang benar pada porosnya
Tentu saja,
Kita cuma tidak sempurna
Kita cuma berbatas
Dan berbatas terkadang sakit dan lelahnya tidak bisa di maklumi dengan waras memaksa tiba-tiba airmata jatuh menjadi jawaban paling jujur
Paling mewakili si penyabar untuk mengeluh dalam hati kecil-kecil
Berharap di dengar Tuhan Nya,
berharap di kasihani Tuhan Nya
berharap di ubah mungkin hatinya, mungkin batasnya, mungkin jedanya, mungkin keadaanya, apapun itu..
Namun yang di ubah Tuhan kokohnya, temboknya, ketebalan di terjang, di hempas, di pukul hancurkan,
Tersenyum lagi,
Sekali lagi menergarkan hati
Sekali lagi menguatkan langkah
Ah.. perjalanan masih jauh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar