Apakah kita masih berada di sana? Entah apakah kamu akan mengingat kala
itu, ketika kita masih sangat polos bahkan untuk mengenal perbedaan, kala
dimana yang kita ketahui dengan baik adalah mainan, kala dimana semua
kebahagiaan hanya berasal dari hal-hal sederhana. Seperti berlarian saling
mengejar, bermain boneka, dan menyusun puzzle.
Aku masih ingat kala itu, janji yang dibuat dua orang anak kecil yang
bahkan belum mengenal mode dan style, janji sederhana bahwa seusai tahun
berlalu kita akan bertemu lagi, akan berlarian dan mengejar matahari lagi. Kamu
yang kekal diingatanku adalah kakak perempuan baik hati yang selalu adil, kakak
perempuan yang berbeda beberapa tahun lebih tua dariku yang tidak pernah
kusebut kakak, atau ayuk atau apapun itu. Kita adalah teman, dan kala itu
kukira akan menjadi selamanya.
Beberapa waktu sebelum kamu pergi, kita hanya berbincang sederhana. Aku masih
ingat sorot matamu polosmu kala itu, ucapanmu saat itu, “nana pergi Cuma sebentar,
kalo nana pulang kita main lagi” dan aku selalu menunggu saat nana akan pulang,
ia itu adalah namanya, teman kecilku yang tiba-tiba muncul kembali setelah
betahun-tahun menjadi koleksi ingatanku yang bahagia. “kalo nana pergi, ica
main sama siapa?” kataku menjawab dengan penuh penyesalan. “nana pasti pulang,
terus kita main lagi”.
Entah mengapa aku selalu menunggu sosok anak perempuan teman bermainku
untuk pulang, tahun pertama, tahun kedua, dan tahun-tahun setelahnya. Nana tidak
pulang untuk waktu yang lama, dan aku beranjak dewasa, melupakan janji bahwa
kami akan bertemu dan bermain bersama lagi.
Ketika waktu telah berlalu dengan cepat, dan waktu hampir menghapus semua
kenangan, tiba-tiba sesuatu mengingatkanku. Stiker, yaa.. hal sederhana yang
masih menempel di tempat yang sama ketika dulu kami sering bermain, tempat
dimana nana berjanji akan pulang dan menemaniku bermain lagi. Stiker janji itu
masih berada disana, dan tak lama kemudian memudar lalu menghilang. Apakah seiring
dengan pergi dan mehilangnya semua kenagan dan janji? Mungkin iya, atau tidak.
Setelah hampir lima belas tahun dan aku tumbuh menjadi perempuan yang cukup
dewasa untuk mengerti ‘hidup’. Nana tiba-tiba pulang, nana pulang. Ia tampak
sama dengan tubuh yang lebih tinggi dan cantik, matanya yang bulat hitam,
rambutnya yang sebahu, tubuhnya yang mungil, dan wajahnya yang tirus. Apakah nana
masih menjadi nana yang dulu? Jawabanya tidak tau.
Nana kembali, namun dengan penampilan yang berbeda. Nana nampak lebih
modis, lebih stylist, lebih cantik, dan lebih pendiam. Ketika pertama kali kami
bertemu, nana bahkan tidak memberikan senyum ramahnya seperti dulu, hanya
berlalu seakan memandangku asing. Apakah nana tidak mengenalku? Bahkan aku tak
banyak berubah, hanya sedikit lebih dewasa.
Nana tidak lagi sama, dia berubah menjadi gadis yang berbeda. Nana hanya
bergaul dengan anak-anak kelas pejabat atau pengusaha, hanya tersenyum kepada
orang-orang cantik dengan penampilan yang modis dan stylist, nana tertawa dan
bermain pada anak-anak berduit dan bergengsi. Nongkrong di
restaurant-restaurant mewah, cafe-cafe elit, dan dengan barang-barang branded
dari ujung kepala hingga kaki.
Kami tidak lagi saling bercerita layaknya sahabat baik, tidak lagi bermain
dan tertawa bersama, tidak lagi berbagi snack atau bertukar stiker, waktu
berlalu dan segalanya berubah. Bahwa hidup yang sekarang menuntumu untuk
menjadi berkelas, bahwa hidup di zaman sekarang berlomba-lomba memperlihatkan
setiap detil yang kamu miliki adalah nomor satu. Hidup yang sekarang
mengharuskanmu untuk berteman, bermain dan berkawan pada tempat yang sama,
kepada strata yang sesuai.
Apakah nana akan ingat ketika suatu hari jika kesempatan datang dan kitaa
akan duduk bersama, membicarakan masalalu, bercerita masalalu? Apakah nana akan
turut tersenyum dan bahagia ketika kuceritakan bahwa dulu kita menangis dan
ketakutan bersama? Entahlah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar